Rabu, 27 Januari 2010

[ Mozaik: III ] Berangkat ke Hongkong

Tak terasa angin yang menyapu debu membuat aroma udara menjadi tak nyaman dan sedikit sesak ditenggorokan, namun kuncup bunga kopi mulai mekar semerbak berebutan dengan aroma jamban tetangga, membuat suasana begitu sangatlah pedesaan. Burung-burung pemakan madu, ayam, sapi, dan suara bising mesin pak tukang kayu tetangga sebelah menambah raut muka Bima menjadi merah, geram! Belum lagi nuansa membosankan yang setiap hari setiap malam diciptakan oleh alam sekitar. Keluar, masuk, singgah dan pergi terus sampai ia hafal betul dengan suasana yang akan terjadi nanti, “Ini tidak baik, hidup…tidaklah hanya begini-begini saja.” Bisik Bima dalam hati.

Roda kehidupan yang ia jalani memang sangatlah lamban, impian dan hayalan tentang kemajuan masih terpendam sangat dalam dilubuk hati dan pikirannya. Kapan ia akan muncul? Kapan ia akan mencurahkan segala kapasitas nya pada dunia jika tidak keluar dari belenggu ini? Pertanyaan-pertanyaan yang bernada memojokkan datang silih berganti mengisi ruang-ruang dalam otaknya. Kalau sudah begini, yang ia lakukan hanya duduk, menatap langit-langit harapan, bintang-bintang hayalan, dan rembulan yang selalu ia rindukan. Tersenyum…namun kadang diiringi kelopak mata yang berkaca-kaca, perih menusuk dada, hujaman impian yang tajam berkilau bagai mata pedang yang menyilaukan.

Cakar-cakar sang malam mengayun cepat bagai anak panah bermata lima, antara maju dan mundur untuk melawannya seolah-olah makan buah simalakama yang bahkan sama sekali belum pernah dilihatnya, mungkin ia cuma mendengar dari sebuah lagu, yang artinya dimakan salah tak dimakan juga salah. Begitu pula kehidupannya, dijalani salah tak dijalani juga salah, ach…begitu picikkah ia?

Tika belum juga SMS,“ pikirnya. Hampir satu minggu ia tak berhubungan dengan Tika, akibat kejadian yang lalu. Ia menyesal tapi ia rindu, sungguh sangat disayangkan kerinduan yang mulai tumbuh akan layu dan gagal bersemi? Apalagi saat ia mendengar kabar bahwa Tika akan berangkat keluar negeri. Antara terpaksa dan tidak sungguh ia mulai tak paham, ada apa sebenarnya ini? Seorang sekretaris penyalur TKW berkeinginan berangkat jadi TKW. Lantas bagaimana kelanjutan hubungan ini, akankah hilang musnah tanpa bekas?

Pasrah, luluh, dan bersandarlah Bima dijendela teras rumah memikirkan bagaimana cara agar Tika tak jadi berangkat keluar negeri, tapi apalah dayanya? Siapakah ia? Ia hanya seorang pria yang menyayangkan tanpa berkekuatan layaknya tokoh Bima yang sesungguhnya dalam lakon Dewaruci. Ia hanya si Bima yang hanya dianugerahi kekuatan berupa keperkasaan sebagai laki-laki saat “kerja malam” saja. Namun disinilah ironisnya, bahwa sang lawan tak mampu mengimbangi “kerja”nya, huffh…menyedihkan! Untuk apa semua kekuatan ini? Lebih baik dibuang saja ke kali belakang rumah, biarlah dimakan ikan dan bebek!

Malam ini secara “kebetulan” ia harus tidur sendiri karena ditinggal pergi anak isteri kesuatu tempat. Kembali ia melongok layar ponsel, “Tak ada gambar amplop!” gerutunya. HP butut Motorola T190 menjadi saksi bisu perjalanan, meskipun kemampuannya hanya sekedar bisa buat SMS dan memanggil saja namun meskipun demikian tidaklah ia risau atau berkecil hati, dengan PD-nya dipajang ditempat terbuka, tepatnya diatas aquarium ikan Oscar Albino. Siapapun yang bertamu pasti melihat dan mengakui bahwa Bima telah mempunyai Handphone, sok pamer!

Pukul 9 malam Bima masuk kekamar, sambil menenteng asbak dan HP, tak lupa pula mengunci pintu dan mematikan lampu, sendiri…sunyi…dan jadi duda satu malam.
Drrrrt…drrrrt… HP bergetar, “Tika?!” suara Bima mengagetkan burung perkutut piaraannya. “Hallloooo…” dan sejurus kemudian bla bla bla Bima mengoceh tak karuan, dan diketahui bahwa saat ini Tika sedang dalam perjalanan menuju ke Malang, naik kereta api, ke penampungan TKW. Hati Bima layu seperti bonsai depan rumah yang terlambat disiram 4 hari, kusut dan lemas, mungkinkah ia akan berpisah dengan Tika? Dan argument tersebut secepatnya dimentahkah oleh Tika dengan: “Aku akan selalu menghubungimu, sebab bagiku kamu lain daripada yang lain dari semua pria yang pernah kukenal.” Begitu spesialkah Bima dihati Tika?

Mereka masih mengobrol selama dalam perjalanan malam itu, bahkan sampai pagi tiba, menunggu jemputan, mampir di konter sebentar, isi pulsa, dan tuuuuutt…Komunikasi terputus setelah sama-sama mengucapkan salam, “Bye-bye mas Bima, doakan aku agar mendapatkan majikan yang baik, juga doakan aku agar betah di negeri orang.” Pasti Tika, pasti!
Tak ada yang sanggup Bima lakukan selain dengan tulus ikhlas meminta kepada Tuhan agar apa yang diimpikan oleh sahabatnya dapatlah terkabul. Setiap saat, sehabis sholat fardhu tak lupa mencantumkan nama Tika pada daftar orang-orang yang didoakannya, meminta, memohon, dan benar-benar ia meneteskan air mata sampai ke pipinya, haru, dan dalam.

Sampai disini Tika belum tahu bahwa sebenarnya Bima telah berkeluarga, harapan-harapannya mungkin melambung tinggi menembus awan di angkasa, ia tahu bahwa didalam hatinya telah bersemi benih cinta, namun ia masih bersabar untuk tetap selalu berhubungan dengan Bima meskipun tak mengerti apa tujuan ia berhubungan. Yang penting enjoy, cocok dan kompak, mungkin itulah yang ada dalam pikirannya.
Bima juga tahu, bahwa wanita seperti Tika-lah yang ia idam-idamkan, paling tidak ia bisa merasakan kecocokan dan kekompakan pada diri masing-masing, namun tidaklah pantas ia merebut hak orang lain, tidak pula etis bahwa pria yang telah berkeluarga mencintai wanita lain, Bima tahu, tapi Tika belum tahu, atau mungkin pura-pura saja tidak tahu.

Lagu “Sempurna” milik Andra & The Backbone mengalun lirih dari mulut Bima agak serak, ia menyanyikan begitu tulus penuh penghayatan, di ujung sana juga terdengar suara wanita menirukan liriknya agak terpatah-patah, saat itu Tika sedang sakit, hanya itulah yang bisa dilakukan Bima untuk sekedar menghibur wanita yang mulai menempati ruang didalam hatinya.
Sekali lagi, dayung bersambut. Dan situasi memang mengharuskan begitu adanya, bahwa isteri Bima yang senang tidur, Bima yang kasmaran, dan Tika yang merasa telah menemukan pujaan hatinya. Isteri Bima sebut saja Nur, dari dulu semenjak usia pernikahan kurang dari satu tahun memang belum muncul tanda-tanda gembengnya. Namun setelah lahir anak pertama barulah ketahuan belangnya, bahwa selain ia pemalas dalam belajar, manja, dan yang terakhir mempunyai penyakit gembeng [mudah mengantuk]. Lalu Bima, orangnya suka berfikir, prihatin dan mempunyai penyakit insomnia [sulit tidur]. Kemudian Tika, baru patah hati dan sekarang kenal dengan orang yang menurutnya pas dihati. Tika yang gemar dengan seks bertemu Bima yang kekurangan kebutuhan biologis, sedangkan ia juga sama, yaitu sama-sama penggemar seks. Cocok sekali. Lantas mengapa takdir Tuhan yang nyentrik ini dianugerahkan kepadanya? Mungkinkah Tuhan merencanakan sesuatu diluar nalar manusia yang akan terjadi kepadanya? Semua jawaban tentu saja masih berada didalam genggaman tangan-Nya yang masih tersembunyi.

Cinta, memang bisa membuat pandangan mata jadi silau, memandang rembulan yang tinggi di angkasa seakan-akan bagai bola sepak yang mudah ditangkap, dan dua orang yang setiap hari bertemu seakan-akan tak pernah bertemu, tak kenal dan hanya diam kebingungan. Ada apakah gerangan sebabnya? Hanya cinta yang mampu untuk menjawabnya, cinta berkata: “Karena aku berada didalam hatimu sebagai pemegang tahta kerajaan tubuhmu.” Jika cinta telah bicara, maka orang pasti akan menjadi linglung dibuatnya, bahkan sering tersenyum sendiri seperti orang gila. Cinta itu suci, tak mengenal ruang dan waktu, universal, menembus tembok tebal tanpa kesulitan. Jika cinta telah menguasai hati, maka jangankan hujan badai, bahkan matipun rela hanya demi sebuah nama: Cinta. Mungkinkah cinta antara Bima dan Tika mampu menembus status sosial diantara mereka? Kita lihat saja nanti.

Malam, sekitar pukul sebelas, Bima tahu bahwa semenjak pertama kali kenal Tika sampai sekarang telah menumbuhkan benih-benih asmara didadanya. Pelajaran yang lalu segera dipetiknya dengan cara: Menolong Tika yang mulai masuk kedalam sumur asmara untuk dikeluarkan ke permukaan, apapun resikonya, jujur adalah lebih baik, meskipun jujur itu menyedihkan , tapi lebih menyedihkan lagi kalau tidak jujur. Apalah artinya sebuah hubungan tapi didasari dengan kebohongan, apalagi ini berkaitan dengan hati dan perasaan, yang tentu saja ujungnya sangat runcing dan menyakitkan saat menghujam dada.

“Tika, sebenarnya aku sudah berkeluarga, mempunyai isteri dan satu anak yang masih TK, ini sengaja kukatakan karena aku menyayangimu dan atas permintaanmu juga bahwa kita harus jujur, untuk selanjutnya kuserahkan kelanjutan hubungan kita ini kepadamu.” Suara Bima terbata-bata antara sampai dan tidak, Bima tahu, ini sungguh mengecewakan hati Tika yang mulai ada rasa yang sulit untuk diungkapkan, namun toh ini juga lebih baik daripada terus berbohong pada diri sendiri.
Satu hari, dua hari, tiga hari dan entah selang berapa hari Bima menjadi orang yang menunggu penuh harap, dan jauh disana seorang wanita cantik tentu telah merenungi kekecewaan karena mendapat kabar yang sesungguhnya bahwa laki-laki yang mulai dicintainya ternyata telah berkeluarga.

Uffh… sungguh pukulan yang berat baginya, namun sebuah hubungan tidaklah harus putus hanya karena masalah masalah kejujuran, yach… dan persaudaraanlah jalan keluarnya, itupun toh tak kalah menyenangkan dari hubungan percintaan. Akhirnya dengan segala pertimbangan yang cukup matang, mereka menyatakan untuk menjalin hubungan persaudaraan saja, begitulah pada akhirnya, akur lagi, becanda lagi seperti dulu dengan hati yang masih sama-sama saling terkait, cinta. Dan orang lain tak perlu tahu urusan hati mereka.

Pukul 1 siang, selesai sholat Dzuhur, sesuai janji Tika bahwa ia akan berpamitan. Dipinggir jalan yang terik karena pantulan aspal, dan ramai oleh lalu-lalang kendaraan seramai hati Bima yang lalu-lalang oleh berbagai macam pikiran. Pasrah, takut, bingung, dan cinta bercampur jadi satu, membuat sebuah lingkaran emosional hingga pada akhirnya ia duduk bersandar dibangku pedagang buku. Beberapa saat kemudian Tika-pun telepon, samar-samar terbawa angin namun Bima sadar dan paham bahwa ia sedang dipamiti oleh sahabatnya, pesawat lepas landas, membawa tunas cinta yang tak diketahui apakah tumbuh berkembang ataukah mati tertimbun waktu.

[ Bersambung ke CINTA SEJATI BIMA&TIKA, Mozaik lV ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar