Malam itu terasa hambar jika tak datang SMS dari Tika, kekonyolan dan suaranya mambuat Bima menjadi sedikit ada perhatian lebih, unik, lucu dan ngangenin, sebab dari itulah setiap SMS yang datang darinya banyak yang sengaja disimpan untuk dibaca lagi pada saat hatinya dihinggapi suasana jenuh dan membosankan.
Puisi-puisi Tika tentang alam dan cinta sungguh dalam, begitu pula puisi-puisi Bimapun tak kalah memesona dengan syair-syair ketuhanan, maklumlah…saat itu dia sedang gencar-gencarnya mempelajari pencarian terhadap Tuhan. Dia sempat berfikir, pada saat ia ingin berusaha meninggalkan keduniawian justeru datang dunia dengan bertubi-tubi, baik itu kesenangan dan kenikmatan yang membuat ia bingung, apa yang harus ia lakukan? Mungkin hatinya tengah dibolak-balikkan oleh Tuhan, kita tak tahu itu semua, yang paling penting sekarang Bima telah menemukan kembali kebahagiaan yang tertunda, bersama Tika. Meskipun hubungan mereka belum mempunyai arah dan tujuan yang pasti.
Semakin bertambah hitungan bulan hubungan mereka semakin dalam saja, terlihat dari bagaimana respon Bima saat menerima telepon dari Tika, semangat dan menggebu-nggebu tangannya menyambar ponsel, mungkin takut keduluan isterinya ataukah saking rindunya dengan suara Tika. Perlu diketahui bahwa sampai sekarangpun ia tak mempedulikan suaminya, apalagi terhadap perasaannya,. Sering pada suatu malam Bima keluar rumah hanya sekedar duduk-duduk sendiri diteras menunggu barangkali si pujaan hati menghubunginya, namun sang isteri tak mau tahu gerangan apa yang sedang terjadi, tak cemburukah ia terhadap perubahan suaminya? Atau mungkin ia mempunyai kadar cinta yang sedikit, atau tak tahu apa yang harus ia lakukan?
Semakin ia tak dipedulikan isterinya ia merasa bebas bergerak, bahkan ia jarang sekali tidur dibawah jam 12 malam hanya sekedar untuk bersenang-senang dengan seseorang yang sama sekali belum pernah ditemui, yaitu Tika.
Kejadian ini bukanlah yang pertama kali dilakukannya, dulu ia juga pernah berhubungan dengan seorang gadis bernama Ana selama 1,5 tahun, gadis tersebut masih kelas lll SMU, yang pada ujung-ujungnya mau saja diperisteri meskipun jadi isteri kedua, namun Bima menolak dengan cara halus sebab bukan itu yang di inginkannya, ia hanya ingin memberi semangat atau motifasi padanya agar rajin belajar supaya sukses. Sampai pada akhirnya mereka pisah lantaran Bima [waktu itu ia mengaku bernama Andre] tak mau memperlihatkan batang hidungnya, jika saja ia mau mengakui bersama bukti-bukti yang nyata, tentu tak menutup kemungkinan saat ini ia telah beristeri 2. Dan kali ini terulang kembali. Entah apa yang istimewa pada diri Bima, dibilang cakep sih tidak, kaya juga tidak, tapi mengapa setiap wanita yang kenal dengannya seakan-akan telah bertemu dengan pujaan hatinya. Aneh!
Pekerjaan yang paling dibenci Bima adalah tidur, namun tidak bagi isterinya, justeru setiap kurang dari jam 9 malam ia telah terlelap bersama mimpi-mimpinya yang membuat hatinya mengeras seperti batu, tak bisa menerima masukan dari orang lain, kolot, dan egois. Meskipun secara lahiriyah mereka sering bertemu, namun secara batiniyah tak pernah bertemu, inikah yang dinamakan jodoh? Lalu jika demikian bagaimana cara menjalankan bahtera rumah-tangga kalau hati mereka tak pernah saling menyatu? Pertanyaan seperti inilah yang sering mengganggu fikirannya yang mengakibatkan rasa pening kepalanya bagian belakang!
“Bersabarlah mas, anggaplah ini memang sudah jadi nasibmu..” Kalimat seperti itu pernah sempat terlontar dari adik iparnya sendiri, dia juga heran pada kakaknya sendiri yang tak mau tahu dengan perasaan orang lain, jangankan terhadapnya atau suaminya, kepada anaknya sendiripun ia tak kenal, dalam arti tak bisa mengetahui watak dan perangai anaknya, ia terlalu bodoh untuk memikirkan hal-hal seperti itu, apalagi sampai pada pelajaran hati dan perasaan, yang ia ketahui mungkin selain bersih-bersih rumah, kerja dan tidur, sepertinya tak ada, sungguh benar-benar apes nasib suaminya.
Ini berlangsung selama kurun waktu 9 tahun usia pernikahan, tanpa perkembangan dan kemajuan yang signifikan, yang ada hanya rasa bosan, jenuh dan monoton pada diri Bima. Padahal hidup Cuma sekali sedangkan waktu tak bisa diulangi lagi, sedangkan umur seseorang selalu berkurang dengan penambahan angkanya, ini benar-benar tak bisa diterima oleh Bima, entahlah mengapa ia sampai berfikiran seperti itu, mungkinkah ada tujuan yang principal dalam hidupnya ataukah ada sesuatu yang dicari-cari yang belum ketemu? Ditanya tentang sesuatu yang dicari-cari, Bima hanya tersenyum kecut layaknya sedang makan buah belimbing wuluh, asem! lalu apakah yang kamu cari Bim?
Drrrrrt…drrrrrrt…drrrrrrrt…
Suara getar ponsel milik Bima berbunyi lagi untuk yang kesekian kalinya, disambarnya cepat-cepat, utak-atik sebentar dan kembali ia tersenyum sendiri seperti orang gila, begitu seterusnya sampai jam 2 pagi lebih, padahal andai saja isterinya mampu untuk sekedar mengalihkan perhatiannya tentu dengan senang hati ia akan menemani tidur daripada memilih begadang setiap malam, tapi Bima tetaplah Bima, jika ada sesuatu yang hinggap dipikirannya, maka ia pasti akan total memikirkannya. Begitu pula dalam hal mencintai.
Suatu malam, suara Tukul Arwana melengking memecah lamunan, “Kembali ke Lap?.......Tooop!!!” dengan disambut serempak oleh penonton di televisi. Bergegas Bima menuju kedepan TV. Kenangan itulah yang mengawali kedekatannya dengan Tika, mereka saling mengejek, menggoda satu sama lain melalui layanan SMS, tertawa bersama, terpingkal-pingkal secara bersmaan meski beda tempatnya mereka menonton, si Vega disamakan dengan Tika, Bima disamakan dengan si Pepi, dan si Tukul disamakan dengan Ragil. Akrab, kompak dan menyenangkan. Bima orangnya yang konyol dihadapkan dengan Tika yang super konyol, ibarat orang Jawa bilang: Tumbu ketemu tutup. Atau dengan bahasa pujangga: Dayung bersambut.
Hari demi hari terasa semakin sepi apabila tak mendapat SMS dari Tika, Bima merasa ada sesuatu yang istimewa pada hubungan mereka, tapi ia terlalu angkuh untuk mengakuinya sehingga agak sedikit tersendat laju perjalanannya mendapat kebahagiaan, padahal hati Tika telah tertanam benih simpatik kepadanya meskipun bukan hanya si Bima saja yang berada dalam lingkaran kompetisi meluluhkan hati Tika. Sebagai pria yang kasmaran tentu menyadari akan kompetisi tersembunyi tersebut, bahkan sempat ia merasa putus asa bakal tak mungkin lagi ia dapat memenangkannya, dibalik keputus-asaan itulah tumbuh siasat baru yang spekulatif, mungkin bukan spekulatif, tapi ia sengaja menggunakan ke-apa adanya-annya tentang dirinya yang miskin, ndheso, dan serba kekurangan. Ia bahkan tak peduli terhadap respon Tika saat ia menunjukkan keadaannya yang sesungguhnya, toh yang Tika butuhkan bukan pacar atau suami, tapi sedulur.
Kata-kata “sedulur” selalu ia ingat-ingat sebagai dasar hubungan mereka, ia sadar akan kekurangan atau statusnya yang telah berumah-tangga, mungkin dengan jalan yang sedikit “nyleneh” seperti itulah hati Tika jadi iba atau kasihan, kita tak tahu tentang perkara hati orang lain. Demikian Bima lakukan terus dari hari kehari, entah apa jadinya atau bagaimana nantinya Bima tak peduli, yang terpenting niatnya baik, menasehati, memperingatkan, memberitahu apapun yang telah ia ketahui, ia merasa senang sekali sebab apa yang ia utarakan mendapat respon positif dari Tika, semakin lama semakin bersemangat untuk mencari bahan-bahan yang sekiranya demi kebaikan. Sambil sesekali berpuisi, melucu, bercerita ngalor-ngidul yang bahkan ia sendiripun tak tahu apa yang sedang ia bicarakan. Dengan sabar Tika melayani dan berusaha mengimbanginya, demikian terus…sampai pada suatu malam…
Tut tut tuuuuuuuuuuut………………
Tiba-tiba obrolan terputus dengan terpaksa, hati Bima jadi gelisah tak menentu, ia sungguh merasa bersalah sebab tentu saja ada seseorang yang tak suka dengan kedekatannya terhadap Tika, ia tahu bahwa ia hanyalah pengganggu saja dengan merampas hak orang lain, orang lain itu setelah diketahui bernama Joni sang bos Tika pada suatu perusahaan penyalur tenaga kerja, jelas ia cemburu, sebab orang yang dicintainya telah asyik ngobrol melalui telepon didalam ruang tempatnya ia bekerja. Bima murung, dan merasa sangat bersalah…beberapa lama kemudian hubunganpun terputus, sepi…menyesal…dan khawatir jika terjadi apa-apa terhadap “sahabat malam” nya.
Kini malam-malamnya diselimuti oleh rasa penyesalan yang akut, rasanya ingin bertanya kabar tapi ia takut, ingin meminta maaf tapi khawatir tak dimaafkan, ach…rasanya aneh sekali, mengapa ia terus memikirkannya? Mengapa ia mengkhawatirkannya dan mengapa pula ia menyesalinya? Padahal hubungannya hanya sebatas sedulur, tak lebih! Mungkinkah ini cinta? Ach! Sangat keterlaluan sekali untuk berfikir kearah itu, tak mungkin! “Aku ini orang miskin yang sudah punya anak isteri!” pekik Bima dalam hati.
[ Bersambung ke CINTA SEJATI BIMA&TIKA, Mozaik lll ]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar