Jumat, 05 Februari 2010

[ Mozaik: V ] Hikmah Cinta

Sore itu, sepulang kerja.
Ada kiriman foto dari Tika melalui post, diterima bapak Kaur dan diberikan kepada isteri Bima yang secara kebetulan belanja diwarungnya. Tanpa kecurigaan yang mencolok diwajah isterinya, dibukanya amplop warna putih yang didalamnya berisi 16 foto Tika berbagai pose.

“Memang cantik…” bisik Bima dalam hati disela-sela kesibukannya memilih mana yang cocok untuk dilukis. Lalu 2 foto terbaik sebagai bahan jiplakan telah terpampang diatas aquarium Oscar Albino yang sebelumnya tentu sudah diberi pengaman laminating terlebih dulu. Dengan semangat 45 dan dorongan cinta yang dalam, dalam kurun waktu kurang dari satu minggu dua buah lukisan telah finish dibuat, dipajang diruang tengah dan kamar tidurnya, mengapa dikamar tidur? Jawab Bima: “Lukisan ini masuk dalam kategori pameran, harus diamankan!”

Padahal menurutnya lukisan tersebut adalah hasil modifikasi antara naturalis dan idealis, sehingga tak diperbolehkan sembarang orang menikmatinya. Begitulah, Bima sang pelukis miskin yang sok idealis!

Pernah suatu ketika ia memasang tariff Rp: 1 juta untuk satu buah lukisan tapi ternyata si pembeli cuma mengeluarkan kocek 200 ribu saja, sambil bersiul-siul ia menenteng lukisan harimau Sumatera yang telah lama tak ada yang berani menawar, mungkin saja karena Bima memasang tarif ketinggian atau sangat kepepet tak punya duit sama sekali pada saat itu, sehingga hanya dibayar cuma dengan 20% dari harga sebenarnya, langsung ia lepas, kasihan… “Rasain, makan tuch idealis!” mungkin begini arti siulan sang pembeli terhadap Bima yang tengah bersandar didepan pintu menatap kepergian karya “emas”nya.

Boleh dikatakan bahwa Tika telah menjadi sumber inspirasi buat Bima, baik didalam karya maupun kehidupannya. Tika menjadi ikon penyemangat dan motivasi, ia tahu betul bahwa Bima memang sangat membutuhkan dorongan moril agar kreatifitasnya dapat berkembang. Sungguh sayang sekali talenta yang telah ada dibiarkan saja mati tanpa arti, lantas kemana lagi akan dicari jika otak telah tumpul tak pernah di asah oleh sebab tidak adanya dorongan yang membantunya. Dalam hal ini Bima memang benar-benar butuh Tika.

Meskipun secara sembunyi-sembunyi dan sedikit curang telah membagi perasaan antara sang isteri dengan Tika, tapi didalamnya menyimpan sebuah pelajaran berharga baginya, yaitu takut kepada Tuhan, mengapa demikian? ia takut terjebak kedalam bisikan syetan yang membuatnya menyesal seumur hidup, terkadang ia sendiri bingung, bahwa ini anugerah ataukah malapetaka? Dibilang anugerah bagaimana nanti kalau rumah-tangganya berantakan, dibilang malapetaka mengapa sekarang ia bahagia, bersemangat untuk maju dan tak ada tanda-tanda akan celaka dalam dirinya? Belumkah? Atau…”Ach sudahlah, jalani saja, toh aku tak punya niat jahat!” pikir Bima dalam hati.

Cinta yang membawa seseorang merasa semakin takut terhadap Tuhan adalah cinta yang membawa hikmah bagus. Dari pelajaran inilah pada akhirnya ia berniat akan tetap terus memelihara hubungan terhadap Tika. “Aku akan tetap menggunakan Tika dalam hidupku, anggaplah aku bersalah telah membagi perasaan, tapi aku yakin bahwa Tuhan maha Bijaksana dan maha Tahu atas gerak hambanya baik secara lahir maupun batin, dan aku yakin bahwa ini adalah rencana Tuhan untukku, dan aku tak boleh berburuk sangka terhadap-Nya, Dia adalah Sang Sutradara yang Agung.” Pikir Bima memotivasi diri.
Air di sungai belakang rumah mengalir deras membawa sampah plastik berserakan, Bima termangu menatap bungkus snack kacang kulit yang terbawa air berbau manyon*), anyir dan pahit sepahit hidup yang tengah dialaminya. Semakin deras airnya semakin kencang pula laju bungkus kacang kulit tersebut meninggalkan dirinya sendirian. Ia pikir mau dibawa kemana bungkus plastik tersebut? Adakah yang peduli terhadapnya? Apakah akan terus melaju sampai laut ataukah akan berhenti disela-sela akar bambu disana itu? Mungkin pula akan terbenam kedalam lumpur karena terinjak kaki lembu saat dimandikan.

Ach…rasanya aku seperti itulah adanya, bagai bungkus plastik kacang kulit yang tiada dipedulikan oleh siapapun! Hanya dirinya sendiri dan Tuhan yang mengatur sedemikian rupa terhadapku.
Beduk dzuhur menggema dari arah masjid jami’ Al-Huda, buru-buru ia mengguyur tubuhnya, bukan mandi junub tapi mandi biasa saja. Pulang dan berangkat jum’atan bersama anaknya setelah dimandikan dengan air hangat oleh mbah idhok**).

Dua tahun telah dilalui hidup dengan perasaan yang terbagi dua, namun mekipun demikian tiada berkurang sedikitpun kasih sayangnya terhadap sang isteri, mungkin karena sang isteri tak terlalu banyak menuntut atau peduli, dari itulah perhatian Bima terhadap Tika tetap stabil saja, bahkan terus berkembang dari hari kehari. Ia tetap meluncur bagai roket tanpa halangan, sama-sama maju dengan cara yang berbeda-beda, dan pada akhirnya tetaplah cinta dan cinta lagi ujung-ujungnya. Tak bisa dipungkiri bahwa cintalah yang telah menyatukan hati mereka hingga sampai sekarang. Dosakah jika mereka berlindung dibawah payung cinta? Padahal mereka tahu ini adalah cinta terlarang bagi mereka berdua. Tapi, begitulah hidup yang penuh dengan teka-teki labirin tanpa ujung. Ujung hidup hanya mati, orang yang telah hidup konsekwensinya ia harus siap manakala dihadapkan dengan problematika dan dilemma kehidupan, bahkan kematianpun ia harus siap. Sebelum ujungnya ditemui maka hikmah dan pelajaran tak mungkin dapat diraih, dan setiap masalah itu pasti ada jalan keluarnya.

Pelajaran mencari cinta sejati cukuplah sulit bagi Bima, yaitu cinta yang membawanya sampai pada tujuan akhir, yaitu Surga. Impian yang selalu bergelayut di pelupuk mata seakan sulit ditangkap, meskipun hanya beberapa langkah saja, ibarat makanan telah didepan mulut namun serasa tangannya tak mampu untuk mengantarkannya. Bersabar adalah jalan terbaik!

Saat ini adalah saat yang tepat untuk menebar benih agar ia dapat panen nantinya, pengorbanan yang tak main-main ia lakukan hanya sekedar untuk menyakinkan sang isteri tentang makna-makna hidup, ia sadar bahwa pola pikir isterinya sangat dangkal, dan ia memakluminya. Tak apalah, mungkin ini ada keuntungan tersendiri meskipun belum tampak tanda-tandanya. Tapi ia percaya kepada rencana Tuhan bahwa bagaimanapun keadaannya tentu Tuhan berkehendak yang terbaik bagi dirinya, keyakinan inilah yang mendasari Bima untuk selalu bertahan.

Tapi Bima juga manusia biasa, sikap-sikap tidak terima tentu bermunculan tanpa permisi yang menyebabkan jiwanya tertekan sangat hebat. Apakah mungkin Tuhan menciptakan segala sesuatu tanpa berpasangan? Tidak, Dia maha Bijaksana dan Adil, mungkin belum saatnya muncul tanda-tanda kelebihan dari sang isteri, menunggu, bersabar, dan cukup ikhlas jika kepalanya pening bagian belakang saat memikirkan isterinya. Kasihan…

Bima mengalah mundur beberapa langkah mengiringi isterinya, padahal tuntutan batinnya selalu mengobarkan semangat untuk maju terus! Itupun tidak ia pedulikan. Hening…dan tiba-tiba ponsel bergetar membuyarkan lamunan.

Drrrt…drrrrrtt…
“SMS dari Tika!” gumamnya.
Ada kengerian yang muncul saat ia semakin dekat dengan Tika, kengerian ini selalu membayanginya disela-sela kerancuan pikiran yang disuguhkan oleh sang isteri. Apakah ia akan maju, berhenti, ataukah akan mundur saja? Pertanyaan –pertanyaan senada juga lahir dari hati kecilnya sesaat waktu melihat anak laki-lakinya yang sedang bermain game. “Kasihan kau nak, apakah nantinya kau bakal terpaksa punya bapak tiri ataukah ibu tiri? Dan apakah kita akan tetap bersama sampai kau pegang tanganku saat bapakmu ini menghadapi naza’?***) tak satupun pertanyaan yang beruntun ini mendapatkan jawaban yang pasti.

Disisi lain Tika justeru memberi semangat untuk terus maju. “Apa yang kau takutkan? Katakanlah agar aku bantu menjawabnya!” tantang Tika suatu ketika. Bima diam, entah malu entah bingung apa yang harus ia tanyakan.

Kondisi ini semakin Tika merasa tertantang untuk memberikan apresiasi dan pandangan tentang pikiran yang sedang melanda Bima. “Aku tau bahwa sampeyan sudah berkeluarga, dan aku sadar bahwa cinta ini tidak diperbolehkan, tapi apakah sampeyan lupa dengan impian-impian yang sering sampeyan gembor-gemborkan, dan bagaimana cinta yang sebenarnya itu?” Bima semakin stress saat dihantam argument yang menakjubkan dari Tika.

Satu sisi ia takut, takut jika nantinya keluarganya jadi berantakan. Satu sisi ia bahagia, bahwa telah mendapatkan cinta sejatinya dengan segala impian-impian yang bakal segera terwujud. Dan satu sisi lagi tentu saja ia bingung apa yang harus ia lakukan, jawabnya: “Kita jalani saja dulu dan nikmati apa adanya.” Hmmm…ternyata Bima pengecut!

Setelah ia menanam benih cinta dihati seseorang lalu seenaknya saja mau ditinggalkan?! Boleh saja, tapi kali ini bukanlah pada orang yang tepat untuk melakukan sikap tak terpuji seperti itu, sebab Tika adalah orang yang cerdas dan dewasa, bukan anak kelas lll SMU seperti Ana.

Dan benarlah, semakin lama semakin kuat akarnya mencengkeram ulu hati, terlambat sudah untuk di urungkan! Cinta telah benar-benar tumbuh subur diantara keduanya, bahkan hanya kematianlah yang sanggup memisahkannya, sungguh luar biasa cinta yang mempengaruhi mereka, itu juga tak lepas dari dorongan dan motivasi Tika yang telaten dan sabar disetiap kondisi alam pikiran Bima yang maju-mundur atau gonjang-ganjing.

“Met pagi cin…” SMS dari Tika di pagi yang cerah.
“Pagi juga ta…” balas Bima agak geli saat meng-klik tombol send.
Jujur saja sebenarnya hati Bima berbunga-bunga saat diajak ngobrol membahas tentang cinta. Sering pula ia terjebak oleh kata-katanya sendiri yang bikin malu semalu-malunya. Tapi begitulah, kelihatan dengan jelas sekali bahwa sebenarnya Bima penakut, namun secepatnya Tika mengirimkan amunisi terus sampai Bima benar-benar mantap, berani dan siap tempur!

Bima telah menemukan cintanya, dihadapkan dengan Tika dengan segala kesiapannya untuk mencintai, dan keduanya telah menjalin cinta terlarang untuk dibicarakan, namun tak ada yang salah dalam hal mencintai maupun dicintai. Pasti ada hikmah baik jika didasari dengan maksud baik, dan ada hikmah buruk jika didasari oleh pondasi-pondasi yang buruk.

Cinta berkata: “Aku sesuai dengan niat orang yang mempergunakanku, aku tebarkan aroma wangi melati jika aku dipergunakan dengan cara yang baik. Dan aku akan merubah diri menjadi mata pedang yang menghujam jantung manakala aku dipergunakan dengan cara buruk.”

Catatan kaki:
*) : Manyon(Jawa), adalah air limbah pembuatan tempe.
**) : Mbah idhok(Jawa), panggilan terhadap nenek.
***) : Naza’(Arab), Sakaratul maut, meregang nyawa.

[Bersambung ke: CINTA SEJATI BIMA & TIKA, Mozaik: VI ]

[ Mozaik lV ] Survey

Tiga bulan berlalu, dan waktu yang ditunggu-tunggupun tiba, sederet nomor asing dengan kode +85 untuk yang pertama kalinya mengisi daftar nomor ponsel Bima. “Nomor HK!”*) Pikirnya.

Ohh…angin pagi itu mendadak terasa sejuk segar, dibawah gantungan-gantungan sangkar burung didepan kios penjual burung, untuk yang pertama kalinya Bima mendapat kabar dari Tika setelah selang selama tiga bulan berada dalam kesunyian hati.

Ya, kabarnya disana belum diijinkan menghubungi siapapun kalau kurang dari tiga bulan, hmmm…peraturan yang aneh!

“Kabar baik kak, adik mendapatkan majikan yang baik dan justeru amat sayang kepada adik.” tulisan pesan singkat Tika berderet lembut mengiringi senyum lega Bima .

Kak, begitu panggilan akrab Tika terhadap Bima, mau apa lagi? Toh Bima juga senang dipanggilnya “kak”, meskipun terasa nyeri seperti sayatan welhit**) pada perut ikan yang habis dipancing, tidak terasa, karena terkalahkan oleh pasrah meskipun sebenarnya sakit sekali.

Semakin hari semakin akrab dan dekat, tutur kata dan tulisan-tulisan Tika sayang sekali untuk dibuang, bertumpuk padat menggeser siapapun dalam kotak masuk pesan. Disimpan, dicopy, sampai meluber keluar dari ponsel. Ya, buku diarylah solusinya! Pada akhirnya capek juga Bima melihat tak ada lagi tempat untuk menaruh tulisan-tulisan Tika yang memesona hati Bima. Dibiarkan saja tetap masuk, merangsek mencari tempat sendiri-sendiri, ada yang di otak, telinga, mata, kepala, dan….yupp! “Aku simpan saja dihati!” pekik Bima dalam hati.
Entahlah, mungkin Bima merasa bahwa tak ada waktu untuk menyalin atau menyimpannya, yang penting poinnya saja lah, Tika bukanlah wanita pembohong, dia anak baik-baik dan dari keluarga yang baik-baik pula.

Masih seperti setengah tahun yang lalu, setiap malam tiba Bima berharap ia masih punya sisa pulsa sekedar untuk menggoda “adik” barunya, namun betapa sedih dan pilunya hati Bima saat mendapati pesan tertulis dari sang operator yang memberitahukan bahwa: Sisa pulsa anda Rp: 0. Kandas sudah cintanya dihantam angka nol!

Tapi Tika wanita yang sarat dengan pengertian, ia tahu manakala beberapa SMSnya tanpa balas, ia menyangka kalau tidak terlalu sibuk ya pasti tak punya pulsa. Makanya sesegera mungkin ia ambil tindakan mengalah untuk calling si Bima, Ia juga tahu bahwa Bima membutuhkannya dan diapun membutuhkan Bima, jadi antara keduanya telah saling terkait dengan kebutuhan. Entah kebutuhan apa namanya kita tak tahu, yang penting antara keduanya saling merasa takut kehilangan satu sama lain.

Komunikasi antara Bima dan Tika berjalan mulus-mulus saja tanpa ada kendala yang berarti. Entah karena saking pandainya main “petak umpet” ataukah saking bodohnya isteri Bima yang tidak menyadari ada sebuah payung besar berbentuk hati merah tua diatas atmosfir Indonesia-Hongkong. Sebagai seorang isteri sebenarnya jiwa analisis dan deteksinya tinggi manakala melihat perubahan sikap suaminya. Tapi yang ini tidak, namun justeru cuek dan tak peduli, orang Jawa bilang: Ora ngurus kapur barus!***) Atau mungkin juga ia menyadari tak mampu mengimbangi suaminya sehingga ia membiarkan suaminya berbingung-ria terhadapnya. Aneh!

Saat para suami gelisah dengan isterinya yang cemburuan justeru Bima bingung dengan isterinya yang tidak cemburuan, hmm…ada apa ini! Juga saat para suami yang dibuat jengkel karena ponselnya direbut isterinya yang memergoki sedang ngobrol dengan wanita lain justeru Bima angkat pundak keheranan saat isterinyta tak mau diajak ngobrol dengan Tika melalui ponsel, malu, tak mau atau tak bisa? Masa iya sich?!

Menggelikan sekali, kejengkelan Bima bukan disebabkan oleh isterinya yang super kritis atau suka komplain, tapi justeru dengan ndhableg****)nya. Banyak orang berkata: “Enak punya isteri kayak gitu, bisa bebas ditinggal selingkuh!” itu kata mereka yang dianggap Bima “Laki-laki gak bener!” Setiap laki-laki yang baik tentu saja mengharapkan mempunyai satu wanita saja sebagai pendamping hidupnya, yang bisa diajak share, becanda, musyawarah, dan pantas diajak kemanapun, tapi impian tersebut hanyalah sebatas impian belaka, sebab karakter wanita yang didamba-dambakannya tersebut justeru ada dalam diri Tika, yang bahkan sampai sekarang belum pernah sekalipun ditemuinya, benar-benar mengenaskan!

Tidaklah munafik, setelah 1,5 tahun mereka berhubungan tentu menyimpan rasa penasaran yang cukup dalam, dan itu manusiawi. Tahap selanjutnya adalah wajah, setelah suara dan karya mereka jual-belikan. Timbul inisiatif untuk sedapat mungkin bisa lihat bagaimana rupa orang yang singgah dipikirannya masing-masing. Ya, MMS adalah jalan keluarnya!

Mengingat Bima juga seniman lukis, tidaklah mengapa jika ia berniat melukis Tika, dengan cara lebih dulu meminta foto melalui layanan MMS, dan berhasil memang, sekitar 12 foto masuk beruntun, waw…ternyata cantik juga si Tika, sesuai namanya Mustika Aji Prameswari.

Waktu bergulir begitu cepat, namun jejak-jejak pencuri masih tetap membekas dilantai dan semakin tebal membentuk pola hati. Ya, pencuri hati telah menyatroni rumah tubuh Bima tanpa kendala, lancar-lancar saja, ibarat laju mobil dijalan tol. Entahlah, semakin tanpa rintangan Bima semakin kebingungan dibuatnya.

Yaitu pertama, ia telah berumah-tangga tiada kurang suatu apapun. Yang kedua, ia bertemu dengan seorang wanita dengan segala kesiapannya sebagai seorang isteri. Dan yang ketiga, ia mempunyai isteri yang SDMnya jauh dibawah rata-rata, sehingga seakan-akan ia merasa snewen memikirkannya. Berat, dan sulit menelaah nasehat-nasehat atau masukan yang berusaha masuk dipikiran isterinya. Akhirnya semua impian yang ada hanya tinggal impian belaka, beda misi dan jauh dari kata: seimbang. Disatu sisi lagi ia bertemu dengan wanita yang sehati, sehoby, ibarat mobil tinggal pancal gas saja tanpa lebih dulu servis sana sini yang membuang waktu.

Faktor penyebab kemalasan dalam pikirannya hanya satu, itu-itu saja. Yaitu sang isteri yang tak mampu mengimbanginya dalam hal apapun. Akhirnya Bima-lah yang mengalah untuk mundur beberapa langkah untuk mengiringi isterinya. Bersabar, menunggu, namun sesekali pernah pula sengaja meninggalkannya manakala kesabarannya benar-benar habis! Haruskah ia akan terus mengiringi langkah lamban isterinya sedangkan orang-orang telah jauh meninggalkannya? Pertanyaan seperti inilah yang setiap hari mengganggu pikirannya. Hingga tekanan-tekanan jiwanya sangat jelas terlihat dari raut mukanya, stress, linglung dan mungkin saja ia jadi gila!

Gila mungkin saja dapat terjadi pada diri Bima, karena dihadapkan dengan perkara-perkara yang kolot dan kaku, lucunya dari dulu sampai sekarang problemnya hanya itu-itu saja, tanpa perubahan atau naik tingkatan yang lebih tinggi. Lantas bagaimana pelajaran dan hikmah akan ikut naik ke tingkat yang lebih tinggi pula? Boleh dibilang selama 9 tahun hanya menduduki kelas satu. Selamat Bim!

“Ya, aku terima ucapan selamat darimu.”mungkin beginilah jawaban Bima atas ungkapan yang lahir dari pikirannya sendiri tersebut. Dan akankah ia bisa terus menerima sedangkan ia ingin menjadi orang yang maju dan berkembang? Bolehlah saat ini ia berkata demikian, tapi ia juga manusia biasa yang penuh dengan impian-impian selangit seperti kebanyakan manusia pada umumnya. Lihatlah bagaimana kesudahan manusia yang tak punya impian, hidupnya jauh dari semangat untuk maju. Semoga saja isteri Bima tidak termasuk dari golongan tersebut.

Sore itu, Bima mendapat kabar bahwa Ragil [adik Tika] akan berkunjung kerumahnya bersama dik Afan [anak Tika yang pertama], wajarlah, setelah sekian lama menjalin hubungan hanya melalui dunia maya akhirnya berniat melanjutkan hubungan ke dunia nyata, sebab mereka sama-sama bermaksud baik, yaitu menjalin tali persaudaraan.

Saat itu hujan, dengan mengendarai motor Vespa butut kesayangannya Bima menjemput mereka berdua di terminal setempat, dan pulang dengan perasaan antara percaya dan tidak percaya bahwa Ragil yang ia kenal dari dulu hanya lewat telephone sekarang bertamu dirumahnya, bersama sang keponakan, yaitu putra dari seseorang yang selama ini telah singgah dihatinya.

Terasa semakin dekat dan “ada”nya sosok Tika menurutnya. Tujuan pertama silaturahmi dan selanjutnya saling berbagi pengalaman masing-masing, membahas bisnis dan lain-lain. Adapun dik Afan tentu saja berpasangan dengan si Dede’ [anak Bima], akrab dan cocok satu sama lain. Dan mbak Nur [isteri Bima] begitulah…tak ada aktifitas yang menarik untuk di ceritakan.

Entah saking semangatnya ataukah memang sayang untuk ditinggalkan, bahwa malam pertama menginap, mereka sengaja tidak berniat untuk tidur. Hmmm…mengesankan.

Selama tiga hari tiga malam Ragil menginap dirumah Bima tanpa sedikitpun Bima merasa keberatan sebab sang tamu adalah pribadi yang halus dan sopan.

Dulu ada rencana bahwa dik Afan akan dipindahkan sekolah di tempatnya Bima satu sekolahan dengan Dede’, dan ini mungkin tahap “survey” untuk menentukan keputusan, mengapa demikian? Ya, ada alasan privative yang mendorongnya, yaitu masalah keluarga.

“Bagaimana anakku kak?’ Tanya Tika suatu ketika disele-sela obrolan. “Ganteng, mungkin mirip bapaknya kali…” jawab Bima seakan menggoda Tika. “Begitulah anakku kak, orangnya pendiam dan penurut, tidak seperti ibunya hehehe…” canda Tika dengan gaya bicara yang khas. Memang benar, bahwa dik Afan anaknya pendiam dan penurut, sungguh beruntung mempunyai anak seperti itu.

Bima berpikir, kalau rencana dik Afan jadi sekolah dan tinggal disini sungguh suatu kebahagiaan tersendiri baginya. Tak mengapa, hanya masalahnya sang isteri setuju atau tidak, tapi itu bisa diatur, “Bagi orang yang mau berbuat baik, aku yakin bahwa Tuhan bersama orang-orang yang berbuat baik dan menunjukkan jalan yang terbaik bagiku.” bisik Bima dalam hati.

Catatan kaki:
*) : HK, Hongkong.
**) : Welhit(Jawa), belahan bambu yang sisi-sisinya tajam.
***) : Ora ngurus kapur barus(Jawa), artinya cuek, tak peduli dengan apapun.
****): Ndhableg(Jawa) artinya kolot, kaku, cuek

[ Bersambung ke: CINTA SEJATI BIMA & TIKA, Mozauk V ]