Rabu, 27 Januari 2010

[ Mozaik: III ] Berangkat ke Hongkong

Tak terasa angin yang menyapu debu membuat aroma udara menjadi tak nyaman dan sedikit sesak ditenggorokan, namun kuncup bunga kopi mulai mekar semerbak berebutan dengan aroma jamban tetangga, membuat suasana begitu sangatlah pedesaan. Burung-burung pemakan madu, ayam, sapi, dan suara bising mesin pak tukang kayu tetangga sebelah menambah raut muka Bima menjadi merah, geram! Belum lagi nuansa membosankan yang setiap hari setiap malam diciptakan oleh alam sekitar. Keluar, masuk, singgah dan pergi terus sampai ia hafal betul dengan suasana yang akan terjadi nanti, “Ini tidak baik, hidup…tidaklah hanya begini-begini saja.” Bisik Bima dalam hati.

Roda kehidupan yang ia jalani memang sangatlah lamban, impian dan hayalan tentang kemajuan masih terpendam sangat dalam dilubuk hati dan pikirannya. Kapan ia akan muncul? Kapan ia akan mencurahkan segala kapasitas nya pada dunia jika tidak keluar dari belenggu ini? Pertanyaan-pertanyaan yang bernada memojokkan datang silih berganti mengisi ruang-ruang dalam otaknya. Kalau sudah begini, yang ia lakukan hanya duduk, menatap langit-langit harapan, bintang-bintang hayalan, dan rembulan yang selalu ia rindukan. Tersenyum…namun kadang diiringi kelopak mata yang berkaca-kaca, perih menusuk dada, hujaman impian yang tajam berkilau bagai mata pedang yang menyilaukan.

Cakar-cakar sang malam mengayun cepat bagai anak panah bermata lima, antara maju dan mundur untuk melawannya seolah-olah makan buah simalakama yang bahkan sama sekali belum pernah dilihatnya, mungkin ia cuma mendengar dari sebuah lagu, yang artinya dimakan salah tak dimakan juga salah. Begitu pula kehidupannya, dijalani salah tak dijalani juga salah, ach…begitu picikkah ia?

Tika belum juga SMS,“ pikirnya. Hampir satu minggu ia tak berhubungan dengan Tika, akibat kejadian yang lalu. Ia menyesal tapi ia rindu, sungguh sangat disayangkan kerinduan yang mulai tumbuh akan layu dan gagal bersemi? Apalagi saat ia mendengar kabar bahwa Tika akan berangkat keluar negeri. Antara terpaksa dan tidak sungguh ia mulai tak paham, ada apa sebenarnya ini? Seorang sekretaris penyalur TKW berkeinginan berangkat jadi TKW. Lantas bagaimana kelanjutan hubungan ini, akankah hilang musnah tanpa bekas?

Pasrah, luluh, dan bersandarlah Bima dijendela teras rumah memikirkan bagaimana cara agar Tika tak jadi berangkat keluar negeri, tapi apalah dayanya? Siapakah ia? Ia hanya seorang pria yang menyayangkan tanpa berkekuatan layaknya tokoh Bima yang sesungguhnya dalam lakon Dewaruci. Ia hanya si Bima yang hanya dianugerahi kekuatan berupa keperkasaan sebagai laki-laki saat “kerja malam” saja. Namun disinilah ironisnya, bahwa sang lawan tak mampu mengimbangi “kerja”nya, huffh…menyedihkan! Untuk apa semua kekuatan ini? Lebih baik dibuang saja ke kali belakang rumah, biarlah dimakan ikan dan bebek!

Malam ini secara “kebetulan” ia harus tidur sendiri karena ditinggal pergi anak isteri kesuatu tempat. Kembali ia melongok layar ponsel, “Tak ada gambar amplop!” gerutunya. HP butut Motorola T190 menjadi saksi bisu perjalanan, meskipun kemampuannya hanya sekedar bisa buat SMS dan memanggil saja namun meskipun demikian tidaklah ia risau atau berkecil hati, dengan PD-nya dipajang ditempat terbuka, tepatnya diatas aquarium ikan Oscar Albino. Siapapun yang bertamu pasti melihat dan mengakui bahwa Bima telah mempunyai Handphone, sok pamer!

Pukul 9 malam Bima masuk kekamar, sambil menenteng asbak dan HP, tak lupa pula mengunci pintu dan mematikan lampu, sendiri…sunyi…dan jadi duda satu malam.
Drrrrt…drrrrt… HP bergetar, “Tika?!” suara Bima mengagetkan burung perkutut piaraannya. “Hallloooo…” dan sejurus kemudian bla bla bla Bima mengoceh tak karuan, dan diketahui bahwa saat ini Tika sedang dalam perjalanan menuju ke Malang, naik kereta api, ke penampungan TKW. Hati Bima layu seperti bonsai depan rumah yang terlambat disiram 4 hari, kusut dan lemas, mungkinkah ia akan berpisah dengan Tika? Dan argument tersebut secepatnya dimentahkah oleh Tika dengan: “Aku akan selalu menghubungimu, sebab bagiku kamu lain daripada yang lain dari semua pria yang pernah kukenal.” Begitu spesialkah Bima dihati Tika?

Mereka masih mengobrol selama dalam perjalanan malam itu, bahkan sampai pagi tiba, menunggu jemputan, mampir di konter sebentar, isi pulsa, dan tuuuuutt…Komunikasi terputus setelah sama-sama mengucapkan salam, “Bye-bye mas Bima, doakan aku agar mendapatkan majikan yang baik, juga doakan aku agar betah di negeri orang.” Pasti Tika, pasti!
Tak ada yang sanggup Bima lakukan selain dengan tulus ikhlas meminta kepada Tuhan agar apa yang diimpikan oleh sahabatnya dapatlah terkabul. Setiap saat, sehabis sholat fardhu tak lupa mencantumkan nama Tika pada daftar orang-orang yang didoakannya, meminta, memohon, dan benar-benar ia meneteskan air mata sampai ke pipinya, haru, dan dalam.

Sampai disini Tika belum tahu bahwa sebenarnya Bima telah berkeluarga, harapan-harapannya mungkin melambung tinggi menembus awan di angkasa, ia tahu bahwa didalam hatinya telah bersemi benih cinta, namun ia masih bersabar untuk tetap selalu berhubungan dengan Bima meskipun tak mengerti apa tujuan ia berhubungan. Yang penting enjoy, cocok dan kompak, mungkin itulah yang ada dalam pikirannya.
Bima juga tahu, bahwa wanita seperti Tika-lah yang ia idam-idamkan, paling tidak ia bisa merasakan kecocokan dan kekompakan pada diri masing-masing, namun tidaklah pantas ia merebut hak orang lain, tidak pula etis bahwa pria yang telah berkeluarga mencintai wanita lain, Bima tahu, tapi Tika belum tahu, atau mungkin pura-pura saja tidak tahu.

Lagu “Sempurna” milik Andra & The Backbone mengalun lirih dari mulut Bima agak serak, ia menyanyikan begitu tulus penuh penghayatan, di ujung sana juga terdengar suara wanita menirukan liriknya agak terpatah-patah, saat itu Tika sedang sakit, hanya itulah yang bisa dilakukan Bima untuk sekedar menghibur wanita yang mulai menempati ruang didalam hatinya.
Sekali lagi, dayung bersambut. Dan situasi memang mengharuskan begitu adanya, bahwa isteri Bima yang senang tidur, Bima yang kasmaran, dan Tika yang merasa telah menemukan pujaan hatinya. Isteri Bima sebut saja Nur, dari dulu semenjak usia pernikahan kurang dari satu tahun memang belum muncul tanda-tanda gembengnya. Namun setelah lahir anak pertama barulah ketahuan belangnya, bahwa selain ia pemalas dalam belajar, manja, dan yang terakhir mempunyai penyakit gembeng [mudah mengantuk]. Lalu Bima, orangnya suka berfikir, prihatin dan mempunyai penyakit insomnia [sulit tidur]. Kemudian Tika, baru patah hati dan sekarang kenal dengan orang yang menurutnya pas dihati. Tika yang gemar dengan seks bertemu Bima yang kekurangan kebutuhan biologis, sedangkan ia juga sama, yaitu sama-sama penggemar seks. Cocok sekali. Lantas mengapa takdir Tuhan yang nyentrik ini dianugerahkan kepadanya? Mungkinkah Tuhan merencanakan sesuatu diluar nalar manusia yang akan terjadi kepadanya? Semua jawaban tentu saja masih berada didalam genggaman tangan-Nya yang masih tersembunyi.

Cinta, memang bisa membuat pandangan mata jadi silau, memandang rembulan yang tinggi di angkasa seakan-akan bagai bola sepak yang mudah ditangkap, dan dua orang yang setiap hari bertemu seakan-akan tak pernah bertemu, tak kenal dan hanya diam kebingungan. Ada apakah gerangan sebabnya? Hanya cinta yang mampu untuk menjawabnya, cinta berkata: “Karena aku berada didalam hatimu sebagai pemegang tahta kerajaan tubuhmu.” Jika cinta telah bicara, maka orang pasti akan menjadi linglung dibuatnya, bahkan sering tersenyum sendiri seperti orang gila. Cinta itu suci, tak mengenal ruang dan waktu, universal, menembus tembok tebal tanpa kesulitan. Jika cinta telah menguasai hati, maka jangankan hujan badai, bahkan matipun rela hanya demi sebuah nama: Cinta. Mungkinkah cinta antara Bima dan Tika mampu menembus status sosial diantara mereka? Kita lihat saja nanti.

Malam, sekitar pukul sebelas, Bima tahu bahwa semenjak pertama kali kenal Tika sampai sekarang telah menumbuhkan benih-benih asmara didadanya. Pelajaran yang lalu segera dipetiknya dengan cara: Menolong Tika yang mulai masuk kedalam sumur asmara untuk dikeluarkan ke permukaan, apapun resikonya, jujur adalah lebih baik, meskipun jujur itu menyedihkan , tapi lebih menyedihkan lagi kalau tidak jujur. Apalah artinya sebuah hubungan tapi didasari dengan kebohongan, apalagi ini berkaitan dengan hati dan perasaan, yang tentu saja ujungnya sangat runcing dan menyakitkan saat menghujam dada.

“Tika, sebenarnya aku sudah berkeluarga, mempunyai isteri dan satu anak yang masih TK, ini sengaja kukatakan karena aku menyayangimu dan atas permintaanmu juga bahwa kita harus jujur, untuk selanjutnya kuserahkan kelanjutan hubungan kita ini kepadamu.” Suara Bima terbata-bata antara sampai dan tidak, Bima tahu, ini sungguh mengecewakan hati Tika yang mulai ada rasa yang sulit untuk diungkapkan, namun toh ini juga lebih baik daripada terus berbohong pada diri sendiri.
Satu hari, dua hari, tiga hari dan entah selang berapa hari Bima menjadi orang yang menunggu penuh harap, dan jauh disana seorang wanita cantik tentu telah merenungi kekecewaan karena mendapat kabar yang sesungguhnya bahwa laki-laki yang mulai dicintainya ternyata telah berkeluarga.

Uffh… sungguh pukulan yang berat baginya, namun sebuah hubungan tidaklah harus putus hanya karena masalah masalah kejujuran, yach… dan persaudaraanlah jalan keluarnya, itupun toh tak kalah menyenangkan dari hubungan percintaan. Akhirnya dengan segala pertimbangan yang cukup matang, mereka menyatakan untuk menjalin hubungan persaudaraan saja, begitulah pada akhirnya, akur lagi, becanda lagi seperti dulu dengan hati yang masih sama-sama saling terkait, cinta. Dan orang lain tak perlu tahu urusan hati mereka.

Pukul 1 siang, selesai sholat Dzuhur, sesuai janji Tika bahwa ia akan berpamitan. Dipinggir jalan yang terik karena pantulan aspal, dan ramai oleh lalu-lalang kendaraan seramai hati Bima yang lalu-lalang oleh berbagai macam pikiran. Pasrah, takut, bingung, dan cinta bercampur jadi satu, membuat sebuah lingkaran emosional hingga pada akhirnya ia duduk bersandar dibangku pedagang buku. Beberapa saat kemudian Tika-pun telepon, samar-samar terbawa angin namun Bima sadar dan paham bahwa ia sedang dipamiti oleh sahabatnya, pesawat lepas landas, membawa tunas cinta yang tak diketahui apakah tumbuh berkembang ataukah mati tertimbun waktu.

[ Bersambung ke CINTA SEJATI BIMA&TIKA, Mozaik lV ]

Rabu, 13 Januari 2010

[Mozaik: ll ] “Kembali ke Lap?...Tooop!!!”

Malam itu terasa hambar jika tak datang SMS dari Tika, kekonyolan dan suaranya mambuat Bima menjadi sedikit ada perhatian lebih, unik, lucu dan ngangenin, sebab dari itulah setiap SMS yang datang darinya banyak yang sengaja disimpan untuk dibaca lagi pada saat hatinya dihinggapi suasana jenuh dan membosankan.

Puisi-puisi Tika tentang alam dan cinta sungguh dalam, begitu pula puisi-puisi Bimapun tak kalah memesona dengan syair-syair ketuhanan, maklumlah…saat itu dia sedang gencar-gencarnya mempelajari pencarian terhadap Tuhan. Dia sempat berfikir, pada saat ia ingin berusaha meninggalkan keduniawian justeru datang dunia dengan bertubi-tubi, baik itu kesenangan dan kenikmatan yang membuat ia bingung, apa yang harus ia lakukan? Mungkin hatinya tengah dibolak-balikkan oleh Tuhan, kita tak tahu itu semua, yang paling penting sekarang Bima telah menemukan kembali kebahagiaan yang tertunda, bersama Tika. Meskipun hubungan mereka belum mempunyai arah dan tujuan yang pasti.

Semakin bertambah hitungan bulan hubungan mereka semakin dalam saja, terlihat dari bagaimana respon Bima saat menerima telepon dari Tika, semangat dan menggebu-nggebu tangannya menyambar ponsel, mungkin takut keduluan isterinya ataukah saking rindunya dengan suara Tika. Perlu diketahui bahwa sampai sekarangpun ia tak mempedulikan suaminya, apalagi terhadap perasaannya,. Sering pada suatu malam Bima keluar rumah hanya sekedar duduk-duduk sendiri diteras menunggu barangkali si pujaan hati menghubunginya, namun sang isteri tak mau tahu gerangan apa yang sedang terjadi, tak cemburukah ia terhadap perubahan suaminya? Atau mungkin ia mempunyai kadar cinta yang sedikit, atau tak tahu apa yang harus ia lakukan?
Semakin ia tak dipedulikan isterinya ia merasa bebas bergerak, bahkan ia jarang sekali tidur dibawah jam 12 malam hanya sekedar untuk bersenang-senang dengan seseorang yang sama sekali belum pernah ditemui, yaitu Tika.

Kejadian ini bukanlah yang pertama kali dilakukannya, dulu ia juga pernah berhubungan dengan seorang gadis bernama Ana selama 1,5 tahun, gadis tersebut masih kelas lll SMU, yang pada ujung-ujungnya mau saja diperisteri meskipun jadi isteri kedua, namun Bima menolak dengan cara halus sebab bukan itu yang di inginkannya, ia hanya ingin memberi semangat atau motifasi padanya agar rajin belajar supaya sukses. Sampai pada akhirnya mereka pisah lantaran Bima [waktu itu ia mengaku bernama Andre] tak mau memperlihatkan batang hidungnya, jika saja ia mau mengakui bersama bukti-bukti yang nyata, tentu tak menutup kemungkinan saat ini ia telah beristeri 2. Dan kali ini terulang kembali. Entah apa yang istimewa pada diri Bima, dibilang cakep sih tidak, kaya juga tidak, tapi mengapa setiap wanita yang kenal dengannya seakan-akan telah bertemu dengan pujaan hatinya. Aneh!

Pekerjaan yang paling dibenci Bima adalah tidur, namun tidak bagi isterinya, justeru setiap kurang dari jam 9 malam ia telah terlelap bersama mimpi-mimpinya yang membuat hatinya mengeras seperti batu, tak bisa menerima masukan dari orang lain, kolot, dan egois. Meskipun secara lahiriyah mereka sering bertemu, namun secara batiniyah tak pernah bertemu, inikah yang dinamakan jodoh? Lalu jika demikian bagaimana cara menjalankan bahtera rumah-tangga kalau hati mereka tak pernah saling menyatu? Pertanyaan seperti inilah yang sering mengganggu fikirannya yang mengakibatkan rasa pening kepalanya bagian belakang!

“Bersabarlah mas, anggaplah ini memang sudah jadi nasibmu..” Kalimat seperti itu pernah sempat terlontar dari adik iparnya sendiri, dia juga heran pada kakaknya sendiri yang tak mau tahu dengan perasaan orang lain, jangankan terhadapnya atau suaminya, kepada anaknya sendiripun ia tak kenal, dalam arti tak bisa mengetahui watak dan perangai anaknya, ia terlalu bodoh untuk memikirkan hal-hal seperti itu, apalagi sampai pada pelajaran hati dan perasaan, yang ia ketahui mungkin selain bersih-bersih rumah, kerja dan tidur, sepertinya tak ada, sungguh benar-benar apes nasib suaminya.

Ini berlangsung selama kurun waktu 9 tahun usia pernikahan, tanpa perkembangan dan kemajuan yang signifikan, yang ada hanya rasa bosan, jenuh dan monoton pada diri Bima. Padahal hidup Cuma sekali sedangkan waktu tak bisa diulangi lagi, sedangkan umur seseorang selalu berkurang dengan penambahan angkanya, ini benar-benar tak bisa diterima oleh Bima, entahlah mengapa ia sampai berfikiran seperti itu, mungkinkah ada tujuan yang principal dalam hidupnya ataukah ada sesuatu yang dicari-cari yang belum ketemu? Ditanya tentang sesuatu yang dicari-cari, Bima hanya tersenyum kecut layaknya sedang makan buah belimbing wuluh, asem! lalu apakah yang kamu cari Bim?

Drrrrrt…drrrrrrt…drrrrrrrt…
Suara getar ponsel milik Bima berbunyi lagi untuk yang kesekian kalinya, disambarnya cepat-cepat, utak-atik sebentar dan kembali ia tersenyum sendiri seperti orang gila, begitu seterusnya sampai jam 2 pagi lebih, padahal andai saja isterinya mampu untuk sekedar mengalihkan perhatiannya tentu dengan senang hati ia akan menemani tidur daripada memilih begadang setiap malam, tapi Bima tetaplah Bima, jika ada sesuatu yang hinggap dipikirannya, maka ia pasti akan total memikirkannya. Begitu pula dalam hal mencintai.

Suatu malam, suara Tukul Arwana melengking memecah lamunan, “Kembali ke Lap?.......Tooop!!!” dengan disambut serempak oleh penonton di televisi. Bergegas Bima menuju kedepan TV. Kenangan itulah yang mengawali kedekatannya dengan Tika, mereka saling mengejek, menggoda satu sama lain melalui layanan SMS, tertawa bersama, terpingkal-pingkal secara bersmaan meski beda tempatnya mereka menonton, si Vega disamakan dengan Tika, Bima disamakan dengan si Pepi, dan si Tukul disamakan dengan Ragil. Akrab, kompak dan menyenangkan. Bima orangnya yang konyol dihadapkan dengan Tika yang super konyol, ibarat orang Jawa bilang: Tumbu ketemu tutup. Atau dengan bahasa pujangga: Dayung bersambut.

Hari demi hari terasa semakin sepi apabila tak mendapat SMS dari Tika, Bima merasa ada sesuatu yang istimewa pada hubungan mereka, tapi ia terlalu angkuh untuk mengakuinya sehingga agak sedikit tersendat laju perjalanannya mendapat kebahagiaan, padahal hati Tika telah tertanam benih simpatik kepadanya meskipun bukan hanya si Bima saja yang berada dalam lingkaran kompetisi meluluhkan hati Tika. Sebagai pria yang kasmaran tentu menyadari akan kompetisi tersembunyi tersebut, bahkan sempat ia merasa putus asa bakal tak mungkin lagi ia dapat memenangkannya, dibalik keputus-asaan itulah tumbuh siasat baru yang spekulatif, mungkin bukan spekulatif, tapi ia sengaja menggunakan ke-apa adanya-annya tentang dirinya yang miskin, ndheso, dan serba kekurangan. Ia bahkan tak peduli terhadap respon Tika saat ia menunjukkan keadaannya yang sesungguhnya, toh yang Tika butuhkan bukan pacar atau suami, tapi sedulur.

Kata-kata “sedulur” selalu ia ingat-ingat sebagai dasar hubungan mereka, ia sadar akan kekurangan atau statusnya yang telah berumah-tangga, mungkin dengan jalan yang sedikit “nyleneh” seperti itulah hati Tika jadi iba atau kasihan, kita tak tahu tentang perkara hati orang lain. Demikian Bima lakukan terus dari hari kehari, entah apa jadinya atau bagaimana nantinya Bima tak peduli, yang terpenting niatnya baik, menasehati, memperingatkan, memberitahu apapun yang telah ia ketahui, ia merasa senang sekali sebab apa yang ia utarakan mendapat respon positif dari Tika, semakin lama semakin bersemangat untuk mencari bahan-bahan yang sekiranya demi kebaikan. Sambil sesekali berpuisi, melucu, bercerita ngalor-ngidul yang bahkan ia sendiripun tak tahu apa yang sedang ia bicarakan. Dengan sabar Tika melayani dan berusaha mengimbanginya, demikian terus…sampai pada suatu malam…

Tut tut tuuuuuuuuuuut………………
Tiba-tiba obrolan terputus dengan terpaksa, hati Bima jadi gelisah tak menentu, ia sungguh merasa bersalah sebab tentu saja ada seseorang yang tak suka dengan kedekatannya terhadap Tika, ia tahu bahwa ia hanyalah pengganggu saja dengan merampas hak orang lain, orang lain itu setelah diketahui bernama Joni sang bos Tika pada suatu perusahaan penyalur tenaga kerja, jelas ia cemburu, sebab orang yang dicintainya telah asyik ngobrol melalui telepon didalam ruang tempatnya ia bekerja. Bima murung, dan merasa sangat bersalah…beberapa lama kemudian hubunganpun terputus, sepi…menyesal…dan khawatir jika terjadi apa-apa terhadap “sahabat malam” nya.

Kini malam-malamnya diselimuti oleh rasa penyesalan yang akut, rasanya ingin bertanya kabar tapi ia takut, ingin meminta maaf tapi khawatir tak dimaafkan, ach…rasanya aneh sekali, mengapa ia terus memikirkannya? Mengapa ia mengkhawatirkannya dan mengapa pula ia menyesalinya? Padahal hubungannya hanya sebatas sedulur, tak lebih! Mungkinkah ini cinta? Ach! Sangat keterlaluan sekali untuk berfikir kearah itu, tak mungkin! “Aku ini orang miskin yang sudah punya anak isteri!” pekik Bima dalam hati.

[ Bersambung ke CINTA SEJATI BIMA&TIKA, Mozaik lll ]

[ Mozaik: I ] Namaku Bima

Berawal dari keisengan seorang pemuda mengacak nomor ponsel, yang cuma selisih satu angka saja,…0999 dan …1999, ia mungkin tak pernah menyangka bahwa apa yang ia lakukan itu melahirkan kisah cinta antara kakak perempuannya dengan seorang laki-laki bernama Bima. Bima adalah nama samaran seorang pria yang telah berumah-tangga di sebuah desa yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, mempunyai satu anak laki-laki yang masih kelas satu SD, hidup serba pas-pasan, swasta dan miskin.

Pemuda itu sebut saja Ragil, masih lajang, mempunyai kakak perempuan bernama Tika yang cantik dan “kebetulan” janda beranak dua, laki-laki dan perempuan. Tika, yang ternyata orangnya sangat menarik simpati kaum Adam tersebut sangat antusias saat diperkenalkan dengan Bima oleh adiknya, katanya orang ini sepertinya cocok dengan kakaknya, yang cerdas, konyol, dan menggemaskan. Betapa terkejutnya Tika saat pertama kali mendengar suara Bima melalui ponsel, ia hampir tak percaya sebab suara Bima mirip dengan suara mantan suami keduanya. Yah…Tika memang janda dua kali, tapi wajah dan bodynya tak kalah dengan anak gadis. Dari itulah mengapa kebanyakan pria yang kenal dengannya selalu ingin lebih mengenalnya lagi.

Waktu berjalan seperti biasa, Bima dan Tika masih tetap berhubungan meskipun hanya lewat ponsel, saling bertanya, saling menjawab, saling menggoda dan saling tertawa karena kekonyolan yang diciptakan masing-masing. Mereka memang cocok dari segi sifat, hobi, dan pandangan hidup. Tapi dengan adanya kecocokan tersebut tidaklah langsung mereka menyatakan untuk “berpacaran”. Terlalu riskan untuk begituan, mungkin disebabkan karena beda status ataukah rasa tak enak dan kawatir jika “paseduluran” mereka jadi bubar ditengah jalan. Dari itulah mereka menyatakan untuk menjalin tali persaudaraan saja daripada percintaan.

Antara butuh dan angkuh disini berlaku bagi mereka, dan kemenangan ada dipihak “butuh”, pada dasarnya mereka memang membutuhkan daripada sekedar gengsi yang terkesan wagu, dari pihak si wanita sudah jelas, baru beberapa bulan ia dikecewakan oleh suaminya yang berujung perceraian, betapa sakit dan kecewanya sebuah perpisahan setelah sekian lama bersatu namun dengan sangat terpaksa harus berpisah, dari pihak si pria juga jelas, jadi seorang suami tapi tak seperti layaknya suami sebab sang isteri tak mampu mengimbangi dalam hal apapun tanpa terkecuali urusan diatas ranjang. Dari sinilah lahir sebuah ungkapan minor antara mereka berdua, yaitu “jatuh cinta”.

Mereka sadar bahwa cinta telah merasuk didalam hubungan “paseduluran” tersebut. Mungkin cinta yang gila, atau merekalah sebenarnya yang gila! Apalagi sekarang, telah tercipta sebuah komitmen untuk menjalin hubungan serius, yaitu menuju pernikahan secara resmi! Benar-benar gila! Yach…cinta memang membuat mata jadi terbalik, hati yang merah menjadi biru, dan tentu saja umur 62 terasa 26. Pada dasarnya memang demikianlah adanya, dan sungguh kurang pantas jika kita menganggap mereka tidak waras, sebab maklumlah bagi para pencari yang akhirnya bertemu dengan sesuatu yang mereka cari, apa itu? Adalah cinta sejati. Mencintai dan dicintai, berimbang satu sama lain, bahagia, ikhlas, dan tenteram disisi seseorang yang kita sebut sebagai sang kekasih.

Fase yang mereka ciptakan sangat unik, mulai dari sekedar hubungan kenalan menjadi persahabatan, persaudaraan, berpacaran dan akhirnya pernikahan. Tapi itu semua mereka lakukan bahkan sekalipun belum pernah bertemu! Aneh, sangat aneh untuk dibicarakan. Tapi…ya itulah mereka, Bima dan Tika, dua sosok insan pecinta yang saling mencari akhirnya dipertemukan oleh Tuhan dengan cara yang unik.

Bagaimana dengan isteri Bima?
Yach, kita semua sadar bahwa sesungguhnya apa yang kita inginkan terkadang tidak sesuai dengan kenyataan, dari situlah lalu tumbuh yang dinamakan pencarian untuk mencapai tahap kesempurnaan, agar merasa damai dan tenteram didalam menjalani kehidupan, apalagi menyangkut masalah perasaan, dengan kata lain bahwa isteri Bima meleset jauh dari harapannya, antara sendiri atau berdua sama saja, sangat ironis, enggak nyambung dan memalukan untuk diceritakan. Sehingga dengan adanya keterbatasan pola pikir semacam itu justeru menyebabkan dampak yang kurang baik bagi dirinya sendiri dan orang lain, sifat-sifat tak mau belajar dan kurang peduli terhadap perasaan orang lain, antagonis, dan suka tidur. Orang yang sedang tidur tentu tidak menyadari kalau burung kesayangannya lepas dari sangkar oleh sebab kekurangan makanan, lalu terbang mencari buah-buahan yang dirasa cocok sesuai seleranya. Kira-kira filosofinya begitu. Atau pada saat musim kawin, seekor anjing akan memutuskan tali yang mengikatnya dan melampiaskan libidonya mencari anjing betina oleh sebab kurangnya perhatian dari sang majikan, maka mungkin saja si Bima lebih rendah daripada burung dan anjing atau mungkin saja itu semua harus terjadi sebagaimana kita sebut sebagai: Takdir yang tak bisa ditolak.

Takdir memang tak bisa ditolak maupun dihentikan, meskipun kita kepayahan menjalaninya namun tak membuat ciut nyali takdir untuk tetap mendatanginya, merangkul kehidupan Bima dan Tika dalam cinta, tidak ada kebetulan karena semua telah tercatat dengan rapi di langit. Maka sebaik-baik makhluk adalah yang selalu bersandar pada ketetapan-Nya, mereka bersandar pasrah, mengikuti arus yang membawanya tanpa sanggup menolak, jika akhirnya cinta yang membawanya maka mereka bersama-sama pergi menemui apa yang telah digariskan. Saling mencintai satu sama lain dengan cinta yang sebenarnya, tanpa paksaan, tulus dari hati masing-masing.

Lantas apa saja yang memotifasi mereka untuk menjalin hubungan asmara? Mungkin karena mereka telah sama-sama merasa cocok, mereka lepas landas dari bandara logika, menerjang jarak, status, ruang dan waktu. Seperti halnya cinta yang notabene bersih dan suci dari segala kotoran yang mengendap disekelilingnya. Hanya saja cinta tampak kotor jika nafsu dan materi ikut nimbrung disela-sela perjalanannya. Mereka memang sengaja menghindari itu semua demi sebuah tijuan yang lebih mulia, mereka saling mencintai karena Allah semata.

Tak perlu menyalahkan cinta jika terjadi konflik yang menyedihkan, itu anggapan mereka. Tapi lain halnya bagi orang yang awam terhadap nilai-nilai cinta, mengecam dan menyalahkan tanpa di selidiki lebih dulu ada apa dibalik itu semua, hati orang tak ada yang tahu selain dirinya sendiri. Baik itu tujuan maupun alasan yang mendasari terjadinya suatu urusan. Kesenjangan semacam ini sungguh sangat disayangkan sebab hanya akan menghambur-hamburkan waktu dengan percuma. Kita lihat saja bagaimana nantinya, terhadap pekerjaan dan akhir dari perjalanan cinta mereka. Semoga Allah meridhai cinta mereka.

[Bersambung ke CINTA SEJATI BIMA&TIKA, Mozaik: ll]