Sore itu, sepulang kerja.
Ada kiriman foto dari Tika melalui post, diterima bapak Kaur dan diberikan kepada isteri Bima yang secara kebetulan belanja diwarungnya. Tanpa kecurigaan yang mencolok diwajah isterinya, dibukanya amplop warna putih yang didalamnya berisi 16 foto Tika berbagai pose.
“Memang cantik…” bisik Bima dalam hati disela-sela kesibukannya memilih mana yang cocok untuk dilukis. Lalu 2 foto terbaik sebagai bahan jiplakan telah terpampang diatas aquarium Oscar Albino yang sebelumnya tentu sudah diberi pengaman laminating terlebih dulu. Dengan semangat 45 dan dorongan cinta yang dalam, dalam kurun waktu kurang dari satu minggu dua buah lukisan telah finish dibuat, dipajang diruang tengah dan kamar tidurnya, mengapa dikamar tidur? Jawab Bima: “Lukisan ini masuk dalam kategori pameran, harus diamankan!”
Padahal menurutnya lukisan tersebut adalah hasil modifikasi antara naturalis dan idealis, sehingga tak diperbolehkan sembarang orang menikmatinya. Begitulah, Bima sang pelukis miskin yang sok idealis!
Pernah suatu ketika ia memasang tariff Rp: 1 juta untuk satu buah lukisan tapi ternyata si pembeli cuma mengeluarkan kocek 200 ribu saja, sambil bersiul-siul ia menenteng lukisan harimau Sumatera yang telah lama tak ada yang berani menawar, mungkin saja karena Bima memasang tarif ketinggian atau sangat kepepet tak punya duit sama sekali pada saat itu, sehingga hanya dibayar cuma dengan 20% dari harga sebenarnya, langsung ia lepas, kasihan… “Rasain, makan tuch idealis!” mungkin begini arti siulan sang pembeli terhadap Bima yang tengah bersandar didepan pintu menatap kepergian karya “emas”nya.
Boleh dikatakan bahwa Tika telah menjadi sumber inspirasi buat Bima, baik didalam karya maupun kehidupannya. Tika menjadi ikon penyemangat dan motivasi, ia tahu betul bahwa Bima memang sangat membutuhkan dorongan moril agar kreatifitasnya dapat berkembang. Sungguh sayang sekali talenta yang telah ada dibiarkan saja mati tanpa arti, lantas kemana lagi akan dicari jika otak telah tumpul tak pernah di asah oleh sebab tidak adanya dorongan yang membantunya. Dalam hal ini Bima memang benar-benar butuh Tika.
Meskipun secara sembunyi-sembunyi dan sedikit curang telah membagi perasaan antara sang isteri dengan Tika, tapi didalamnya menyimpan sebuah pelajaran berharga baginya, yaitu takut kepada Tuhan, mengapa demikian? ia takut terjebak kedalam bisikan syetan yang membuatnya menyesal seumur hidup, terkadang ia sendiri bingung, bahwa ini anugerah ataukah malapetaka? Dibilang anugerah bagaimana nanti kalau rumah-tangganya berantakan, dibilang malapetaka mengapa sekarang ia bahagia, bersemangat untuk maju dan tak ada tanda-tanda akan celaka dalam dirinya? Belumkah? Atau…”Ach sudahlah, jalani saja, toh aku tak punya niat jahat!” pikir Bima dalam hati.
Cinta yang membawa seseorang merasa semakin takut terhadap Tuhan adalah cinta yang membawa hikmah bagus. Dari pelajaran inilah pada akhirnya ia berniat akan tetap terus memelihara hubungan terhadap Tika. “Aku akan tetap menggunakan Tika dalam hidupku, anggaplah aku bersalah telah membagi perasaan, tapi aku yakin bahwa Tuhan maha Bijaksana dan maha Tahu atas gerak hambanya baik secara lahir maupun batin, dan aku yakin bahwa ini adalah rencana Tuhan untukku, dan aku tak boleh berburuk sangka terhadap-Nya, Dia adalah Sang Sutradara yang Agung.” Pikir Bima memotivasi diri.
Air di sungai belakang rumah mengalir deras membawa sampah plastik berserakan, Bima termangu menatap bungkus snack kacang kulit yang terbawa air berbau manyon*), anyir dan pahit sepahit hidup yang tengah dialaminya. Semakin deras airnya semakin kencang pula laju bungkus kacang kulit tersebut meninggalkan dirinya sendirian. Ia pikir mau dibawa kemana bungkus plastik tersebut? Adakah yang peduli terhadapnya? Apakah akan terus melaju sampai laut ataukah akan berhenti disela-sela akar bambu disana itu? Mungkin pula akan terbenam kedalam lumpur karena terinjak kaki lembu saat dimandikan.
Ach…rasanya aku seperti itulah adanya, bagai bungkus plastik kacang kulit yang tiada dipedulikan oleh siapapun! Hanya dirinya sendiri dan Tuhan yang mengatur sedemikian rupa terhadapku.
Beduk dzuhur menggema dari arah masjid jami’ Al-Huda, buru-buru ia mengguyur tubuhnya, bukan mandi junub tapi mandi biasa saja. Pulang dan berangkat jum’atan bersama anaknya setelah dimandikan dengan air hangat oleh mbah idhok**).
Dua tahun telah dilalui hidup dengan perasaan yang terbagi dua, namun mekipun demikian tiada berkurang sedikitpun kasih sayangnya terhadap sang isteri, mungkin karena sang isteri tak terlalu banyak menuntut atau peduli, dari itulah perhatian Bima terhadap Tika tetap stabil saja, bahkan terus berkembang dari hari kehari. Ia tetap meluncur bagai roket tanpa halangan, sama-sama maju dengan cara yang berbeda-beda, dan pada akhirnya tetaplah cinta dan cinta lagi ujung-ujungnya. Tak bisa dipungkiri bahwa cintalah yang telah menyatukan hati mereka hingga sampai sekarang. Dosakah jika mereka berlindung dibawah payung cinta? Padahal mereka tahu ini adalah cinta terlarang bagi mereka berdua. Tapi, begitulah hidup yang penuh dengan teka-teki labirin tanpa ujung. Ujung hidup hanya mati, orang yang telah hidup konsekwensinya ia harus siap manakala dihadapkan dengan problematika dan dilemma kehidupan, bahkan kematianpun ia harus siap. Sebelum ujungnya ditemui maka hikmah dan pelajaran tak mungkin dapat diraih, dan setiap masalah itu pasti ada jalan keluarnya.
Pelajaran mencari cinta sejati cukuplah sulit bagi Bima, yaitu cinta yang membawanya sampai pada tujuan akhir, yaitu Surga. Impian yang selalu bergelayut di pelupuk mata seakan sulit ditangkap, meskipun hanya beberapa langkah saja, ibarat makanan telah didepan mulut namun serasa tangannya tak mampu untuk mengantarkannya. Bersabar adalah jalan terbaik!
Saat ini adalah saat yang tepat untuk menebar benih agar ia dapat panen nantinya, pengorbanan yang tak main-main ia lakukan hanya sekedar untuk menyakinkan sang isteri tentang makna-makna hidup, ia sadar bahwa pola pikir isterinya sangat dangkal, dan ia memakluminya. Tak apalah, mungkin ini ada keuntungan tersendiri meskipun belum tampak tanda-tandanya. Tapi ia percaya kepada rencana Tuhan bahwa bagaimanapun keadaannya tentu Tuhan berkehendak yang terbaik bagi dirinya, keyakinan inilah yang mendasari Bima untuk selalu bertahan.
Tapi Bima juga manusia biasa, sikap-sikap tidak terima tentu bermunculan tanpa permisi yang menyebabkan jiwanya tertekan sangat hebat. Apakah mungkin Tuhan menciptakan segala sesuatu tanpa berpasangan? Tidak, Dia maha Bijaksana dan Adil, mungkin belum saatnya muncul tanda-tanda kelebihan dari sang isteri, menunggu, bersabar, dan cukup ikhlas jika kepalanya pening bagian belakang saat memikirkan isterinya. Kasihan…
Bima mengalah mundur beberapa langkah mengiringi isterinya, padahal tuntutan batinnya selalu mengobarkan semangat untuk maju terus! Itupun tidak ia pedulikan. Hening…dan tiba-tiba ponsel bergetar membuyarkan lamunan.
Drrrt…drrrrrtt…
“SMS dari Tika!” gumamnya.
Ada kengerian yang muncul saat ia semakin dekat dengan Tika, kengerian ini selalu membayanginya disela-sela kerancuan pikiran yang disuguhkan oleh sang isteri. Apakah ia akan maju, berhenti, ataukah akan mundur saja? Pertanyaan –pertanyaan senada juga lahir dari hati kecilnya sesaat waktu melihat anak laki-lakinya yang sedang bermain game. “Kasihan kau nak, apakah nantinya kau bakal terpaksa punya bapak tiri ataukah ibu tiri? Dan apakah kita akan tetap bersama sampai kau pegang tanganku saat bapakmu ini menghadapi naza’?***) tak satupun pertanyaan yang beruntun ini mendapatkan jawaban yang pasti.
Disisi lain Tika justeru memberi semangat untuk terus maju. “Apa yang kau takutkan? Katakanlah agar aku bantu menjawabnya!” tantang Tika suatu ketika. Bima diam, entah malu entah bingung apa yang harus ia tanyakan.
Kondisi ini semakin Tika merasa tertantang untuk memberikan apresiasi dan pandangan tentang pikiran yang sedang melanda Bima. “Aku tau bahwa sampeyan sudah berkeluarga, dan aku sadar bahwa cinta ini tidak diperbolehkan, tapi apakah sampeyan lupa dengan impian-impian yang sering sampeyan gembor-gemborkan, dan bagaimana cinta yang sebenarnya itu?” Bima semakin stress saat dihantam argument yang menakjubkan dari Tika.
Satu sisi ia takut, takut jika nantinya keluarganya jadi berantakan. Satu sisi ia bahagia, bahwa telah mendapatkan cinta sejatinya dengan segala impian-impian yang bakal segera terwujud. Dan satu sisi lagi tentu saja ia bingung apa yang harus ia lakukan, jawabnya: “Kita jalani saja dulu dan nikmati apa adanya.” Hmmm…ternyata Bima pengecut!
Setelah ia menanam benih cinta dihati seseorang lalu seenaknya saja mau ditinggalkan?! Boleh saja, tapi kali ini bukanlah pada orang yang tepat untuk melakukan sikap tak terpuji seperti itu, sebab Tika adalah orang yang cerdas dan dewasa, bukan anak kelas lll SMU seperti Ana.
Dan benarlah, semakin lama semakin kuat akarnya mencengkeram ulu hati, terlambat sudah untuk di urungkan! Cinta telah benar-benar tumbuh subur diantara keduanya, bahkan hanya kematianlah yang sanggup memisahkannya, sungguh luar biasa cinta yang mempengaruhi mereka, itu juga tak lepas dari dorongan dan motivasi Tika yang telaten dan sabar disetiap kondisi alam pikiran Bima yang maju-mundur atau gonjang-ganjing.
“Met pagi cin…” SMS dari Tika di pagi yang cerah.
“Pagi juga ta…” balas Bima agak geli saat meng-klik tombol send.
Jujur saja sebenarnya hati Bima berbunga-bunga saat diajak ngobrol membahas tentang cinta. Sering pula ia terjebak oleh kata-katanya sendiri yang bikin malu semalu-malunya. Tapi begitulah, kelihatan dengan jelas sekali bahwa sebenarnya Bima penakut, namun secepatnya Tika mengirimkan amunisi terus sampai Bima benar-benar mantap, berani dan siap tempur!
Bima telah menemukan cintanya, dihadapkan dengan Tika dengan segala kesiapannya untuk mencintai, dan keduanya telah menjalin cinta terlarang untuk dibicarakan, namun tak ada yang salah dalam hal mencintai maupun dicintai. Pasti ada hikmah baik jika didasari dengan maksud baik, dan ada hikmah buruk jika didasari oleh pondasi-pondasi yang buruk.
Cinta berkata: “Aku sesuai dengan niat orang yang mempergunakanku, aku tebarkan aroma wangi melati jika aku dipergunakan dengan cara yang baik. Dan aku akan merubah diri menjadi mata pedang yang menghujam jantung manakala aku dipergunakan dengan cara buruk.”
Catatan kaki:
*) : Manyon(Jawa), adalah air limbah pembuatan tempe.
**) : Mbah idhok(Jawa), panggilan terhadap nenek.
***) : Naza’(Arab), Sakaratul maut, meregang nyawa.
[Bersambung ke: CINTA SEJATI BIMA & TIKA, Mozaik: VI ]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar